Berteman Dengan Kelainan

Berteman Dengan Kelainan


- BERTEMAN DENGAN KELAINAN -


Halo, sahabat kisaHidup. Aku ingin berbagi cerita. Kisah tentang bagaimana masa laluku yang memiliki kelainan. Aku ingin berbagi cerita agar menjadi pembelajaran untuk kita semua serta lebih menghargai dan memelihara kesehatan. Selamat membaca ya. Oh iya, panggil aja aku AD. Maaf ya aku inisialin, soalnya aku cuma ga mau terlalu mempublikasikan siapa diriku. Karena menurutku yang terpenting ialah pengalamanku yang memiliki suatu kelainan. 

Tahun 2010 akhir. Dulu aku masih berumur 12 tahun, kelas 6 sekolah dasar. Ingat sekali, pelajaran kelas 6 sekolah dasar waktu itu tidak sulit. Hanya karena cukup banyak mata pelajaran yang ada dalam satu hari, mau tidak mau aku harus membawa beberapa buku paket ke sekolah. Padahal satu mata pelajaran bisa  ada 2 hingga 3 buku tulis. Karena pada zamanku saat itu, guruku hanya ada satu atau dua yang mengajar beberapa mata pelajaran sekaligus. Jadi untuk memisahkan satu pelajaran dengan yang lain, guruku menyuruh seluruh murid di kelasku untuk mempunyai lebih dari satu buku tulis setiap mata pelajaran. Rinciannya yaitu, satu buku untuk buku catatan, satu buku untuk tugas, dan satu buku untuk PR (pekerjaan rumah).


Oleh karena itu, aku sering membawa banyak buku ke sekolah setiap hari. Menggunakan tas ransel warna pink. Aku berangkat ke sekolah diantar ayahku. Namun terkadang, saat ayahku ada pekerjaan mendadak pada pagi hari atau kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan, aku biasa diantar oleh rekan kerja ayah yang sudah ayah percaya untuk mengantarku ke sekolah. Sedikit aku bercerita tentang ayah. Ayahku seorang wirausaha, mempunyai apotek di kotaku. Yang alhamdulillah omsetnya cukup untuk membiayai keluargaku. Maka dari itu, ayahku sebenarnya tak banyak bekerja pada pagi hari khususnya. Hanya sesekali saja menengok ke apotek untuk mengecek penjualan atau mengantarkan barang yang baru saja dibeli karena stoknya habis.

Kembali lagi keceritaku, dari kebiasaanku membawa banyak buku ke sekolah, tak ku sadari ternyata berimbas pada tulang belakangku. Saat itu, sore hari setelah aku selesai bermain kemudian mandi. Aku keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk untuk menutupi badanku. Maklum, masih bocah jadi begitu hehe. Tiba-tiba ibuku bilang padaku “nak, kok pundakmu tinggi sebelah gitu? Tidak setara”. Aku yang baru selesai mandi langsung kaget mendengar pernyataan ibu. Karena aku tidak merasa apapun, tidak sadar bahwa pundakku ternyata tidak sejajar. Bahkan aku tidak merasakan sakit, sedikitpun. Aku berkaca, melihat dengan jeli. Memang benar, aku jadi yakin sekarang, pundakku tidak setara seperti yang dikatakan ibu. Ibuku pun memegang punggungku. Sebelah punggungku menonjol. Padahal seharusnya punggung itu sama rata. Ibu segera memanggil ayah yang kebetulan sedang berada di ruang tamu. “kita harus memeriksakan ke rumah sakit. Langsung saja ke bagian orthopedi”, ucap ibuku kala itu. For your information, orhopedi adalah bagian spesialis yang menangani tulang dan persendian. Aku masih ingat bagaimana wajah cemas kedua orang tuaku. Aku pun lesu, lemas, menangis. Apa yang salah denganku? Mengapa aku seperti ini? Mengapa harus aku? Aku masih sangat kecil untuk menerima kenyataan pahit ini.

Kebetulan, ibuku seorang bidan. Yang sedikit banyak mengerti tentang kesehatan. Ibu berprasangka ada masalah dengan tulang belakangku. Keesokan harinya, ibu dan ayah langsung membawaku ke rumah sakit orthopedi. Aku yang saat itu masih kecil, hanya bisa nurut dan mengikuti seluruh prosedur pemeriksaan. Masuk lobby depan, langsung menuju ke bagian pendaftaran pasien baru. Setelah mendapat nomor antri, aku duduk di ruang tunggu bersama ibuku. Kami bertemu dengan salah satu dokter spesialis orthopedi. Ibu menjelaskan bagaimana kronologi awal saat mengetahui kondisi tulang belakangku yang tidak semestinya. Dokter itu hanya manggut-manggut mendengarkan penjelasan ibuku, sambal sesekali menulis di kertas yang dibungkus map. Aku disitu hanya diam, merenungi apa yang sebenarnya terjadi padaku. Tak sadar aku pun mengeluarkan air mata. Merasa membebani orang tua.

Lalu, di sela perbincangan antara ibu dan dokter, dokter menyuruhku untuk keluar sebentar dari ruangan. Dokter ingin bicara empat mata dengan ibu mengenai hal ini. Dan ternyata, hasilnya…


-To be continued-

Untuk saat ini kelanjutan ceritanya masih dalam tahap pembuatan dikarenakan kesibukan yang harus kujalani. Jadi mohon ditunggu ya..


EmoticonEmoticon